BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Di dalam agama
Islam, Allah menganjurkan kita untuk melaksanakan pernikahan. Pernikahan
merupakan sebuah proses dimana seorang perempuan dan seorang laki-laki
menyatukan hubungan mereka dalam ikatan kekeluargaan dengan tujuan mengatur
kehidupan rumah tangga dan keturunan.
Pernikahan
dalam Islam merupakan sebuah proses yang sakral, mempunyai adab-adab tertentu
dan tidak bisa di lakukan secara asal-asalan. Jika pernikahan tidak
dilaksanakan berdasarkan syariat Islam maka pernikahan tersebut bisa menjadi
sebuah perbuatan zina. Oleh karena itu, kita sebagai umat Islam harus
mengetahui kiat-kiat pernikahan yang sesuai dengan kaidah agama Islam agar
pernikahan kita dinilai ibadah oleh Allah SWT.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian dan tujuan pernikahan menurut pandangan Islam ?
2.
Bagaimanakah
hukum pernikahan menurut pandangan Islam ?
3.
Bagaimanakah
cara-cara pernikahan yang sah menurut pandangan Islam?
4.
Apa
hikmah pernikahan menurut pandangan Islam ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pernikahan
Menurut Bahasa,
pernikahan adalah al-jam’u dan al-dhamu yang berarti berkumpul
atau bergabung. Sedangkan menurut istilah, pernikahan adalah akad serah terima
antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan diri antara
satu sama lain untuk membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang sakinah serta masyarakat yang sejahtera.
Dalam pandangan Islam, pernikahan merupakan ikatan yang amat suci dimana dua
insan yang berlainan jenis dapat hidup bersama dengan direstui agama, kerabat,
dan masyarakat.
Sebelum
Islam datang, hubungan lawan jenis pria dan wanita tidak terarah dan
terjaga, maka datanglah Islam dengan syariat nikah yang mulia. Berikut ini di
antara pernikahan jahiliyyah yang dibatalkan oleh Islam:
1.
Nikah khidn,
yakni wanita mencari laki-laki tertentu sebagai kawan untuk melakukan perzinaan
dengannya secara sembunyi-sembunyi. (lihat QS. An Nisaa’: 25).
2.
Nikah Badal,
yakni seorang laki-laki berkata kepada laki-laki lain, “Taruhlah istrimu
kepadaku, nanti aku akan taruh istriku dan aku akan berikan tambahan.”
3.
Nikah Istibdhaa’, yakni seorang suami berkata kepada istrinya setelah istrinya
selesai haidh, “Pergilah kepada si fulan, dan berhubunganlah dengannya agar
kamu mendapatkan bibit yang baik," lalu suaminya menjauhinya sampai
istrinya hamil. Ketika jelas hamilnya, maka ia menggauli jika mau. Nikah ini
tujuannya untuk mendapatkan bibit unggul.
4.
Ada juga pernikahan dengan cara sekumpulan laki-laki (kurang dari
sepuluh) menemui seorang wanita, semuanya menjima’inya. Ketika wanita itu sudah
hamil, lalu melahirkan dan telah lewat beberapa hari, wanita itu mengirim
seseorang kepada sekumpulan laki-laki itu, di mana masing-masing mereka tidak
dapat menolak. Ketika mereka telah berkumpul di hadapan wanita itu, wanita itu
berkata, “Kalian sudah tahu tentang perbuatan kalian. Sekarang saya sudah
melahirkan. Anak ini adalah anakmu wahai fulan," wanita itu menentukan
laki-laki yang disukainya untuk menasabkan anaknya kepada laki-laki itu, dan
laki-laki itu tidak bisa menolaknya.
5. Ada juga cara lain selain di atas, yaitu ketika
orang-orang berkumpul, kemudian mereka menemui kaum wanita pelacur, di mana
kaum wanita itu tidak menolak orang yang datang kepadanya. Wanita-wanita
pelacur ini biasanya memasang bendera di pintunya sebagai tanda bolehnya siapa
saja mendatanginya dan menggaulinya. Ketika wanita ini hamil kemudian selesai
melahirkan, orang-orang berkumpul di hadapannya dan mengundang qaaffah (ahli
nasab dengan cara melihat kesamaan), lalu menasabkan anak itu kepada orang yang
mereka lihat mirip.
Aqad nikah
dalam Islam berlangsung sangat sederhana, terdiri dari dua kalimat "ijab
dan qabul". Tapi dengan dua kalimat ini telah dapat menaikkan hubungan dua
makhluk Allah dari bumi yang rendah ke langit yang tinggi. Dengan dua kalimat
ini berubahlah kekotoran menjadi kesucian, maksiat menjadi ibadah, maupun dosa
menjadi amal sholeh. Aqad nikah bukan hanya perjanjian antara dua insan. Aqad
nikah juga merupakan perjanjian antara makhluk Allah dengan Al-Khaliq.
Ketika dua tangan diulurkan (antara wali nikah dengan mempelai pria), untuk
mengucapkan kalimat baik itu, diatasnya ada tangan Allah SWT, "Yadullahi
fawqa aydihim". Begitu sakralnya aqad nikah, sehingga Allah
menyebutnya "Mitsaqon gholizho" atau perjanjian Allah yang
berat. Juga seperti perjanjian Allah dengan Bani Israil dan juga Perjanjian
Allah dengan para Nabi adalah perjanjian yang berat, Allah juga menyebutkan
aqad nikah antara dua orang anak manusia sebagai "Mitsaqon gholizho".
Karena janganlah pasangan suami istri dengan begitu mudahnya mengucapkan kata
cerai.
B.
Tujuan Pernikahan
Allah SWT. sangat menganjurkan ummatnya untuk melakukan pernikahan
apabila telah memenuhi syarat untuk menikah. Sebagaiman firman Allah dalam
(Q.S. AR-Ruum : 31) yang berbunyi :
وَمِنْ
ءَايَٰتِهِۦٓ
أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ
بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ
يَتَفَكَّرُونَ
Artinya :
Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berpikir. [QS. Ar.
Ruum (30):21].
Dan adapun hadist yang menganjurkan untuk melakukan
pernikahan yaitu :
يَا
مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ ,
فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ , وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ , وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ".
Artinya :
Wahai
para pemuda! Siapa saja di antara kamu yang mampu menikah,
maka hendaknya ia menikah. Karena nikah itu dapat menundukkkan pandangan dan
menjaga kehormatan. Namun barang siapa yang tidak mampu, hendaknya ia berpuasa,
karena puasa dapat memutuskan syahwatnya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Adapun
tujuan pernikhan dalam Islam :
1. Menjaga diri dari perbuatan haram
2. Memperbaiki keturunan
3. Dapat menyalurkan naluri seksual dengan cara sah dan terpuji.
4. Memelihara dan memperbanyak keturunan dengan terhormat, sehingga
dapat menjaga kelestarian hidup umat manusia.
5. Naluri keibuan dan kebapakan akan saling melengkapi dalam kehidupan
berumah tangga bersama anak-anak.
Hubungan
ini akan menumbuhkan rasa kasih sayang, sikap jujur, dan keterbukaan, serta
saling menghargai satu sama lain sehingga akan meningkatkan kualitas seorang
manusia.
6. Melahirkan organisasi (tim) dengan pembagian tugas/tanggungjawab
tertentu, serta melatih kemampuan bekerjasama.
7. Terbentuknya tali kekeluargaan dan silaturahmi antar keluarga,
sehingga memupuk rasa sosial dan dapat membentuk masyarakat yang kuat serta
bahagia.
C.
Hukum Pernikahan
Dalam kehidupan
sehari-hari manusia sudah diatur oleh hukum, baik itu hukum negara, hukum agama,
maupun hukum adat, semuanya sudah diatur sedemikian mungkin. Didalam hal
perkawinan pun juga telah diatur menurut agamanya masing-masing, agama manapun
telah mengatur hukum tentang perkawinan. Begitu pun dalam Agama Islam telah
diatur hukum-hukum pernikahan yang sesuai dengan kaidah-kaidah Islam. Para
ulama berbeda pendapat mengenai hukum pernikahan. Ada yang mengatakan hukum
pernikahan itu wajib, ada juga sebagian mengatakan sunnah, dan selebihnya
berkata hukum pernikahan itu mubah. Perbedaan pendapat ini disebabkan adanya
perbedaan penafsiran terhadap bentuk kalimat perintah dalam Al-Qur’an maupun
hadist yang berkaitan dengan masalah ini.
Terlepas dari
pendapat para Imam / Madzhab yang berbeda pendapat didalam mendefinisikan dan
menafsirkan arti perkawianan. Berdasarkan Al-qur’an dan As-sunnah, islam sangat
menganjurkan kepada kaum muslimin yang mampu untuk melangsungkan perkawinan.
Namun demikian kalau dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakan
perkawinan serta tujuan dari perkawinan, maka melaksanakan suatu perkawinan itu
dapat dikenakan hukum Wajib, Sunnah, Mubah, Makruh, dan bisa menjadi haram.
1.
Pernikahan Hukumnya Wajib
Suatu pernikahan dapat menjadi wajib hukumnya apabila seseorang
sudah mampu melakukan perkawinan dan nafsunya sudah mendesak dan ditakutkan
akan terjerumus dalam perzinaan, maka baginya wajib melakukan pernikahan. Imam
Al-Qurtubi berkata bahwa para ulama tidak berbeda pendapat tentang wajibnya
seorang untuk menikah bila dia adalah orang yang mampu dan takut tertimpa
resiko zina pada dirinya. Dan bila dia tidak mampu, maka Allah SWT pasti akan
membuatnya cukup dalam masalah rezekinya, sebagaimana firman-Nya :
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا
حَتَّىٰ يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
Artinya :
Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri) nya,
sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. [Q.S. An-Nur (24) : 33]
2.
Pernikahan Hukumnya Sunnah
Adapun bagi orang-orang yang nafsunya
telah mendesak lagi mampu kawin, tetapi masih dapat menahan dirinya dari
berbuat zina, maka sunnahlah ia kawin. Berkata Imam Nawawi : “Ini adalah
madzhab kita (Syafi’iyah) dan madzhab seluruh ulama, bahwa perintah menikah di
sini adalah anjuran, bukan kewajiban… dan tidak diketahui seseorang mewajibkan
nikah kecuali Daud dan orang-orang yang setuju dengannya dari pengikut Ahlu
Dhahir (Dhahiriyah), dan riwayat dari Imam Ahmad. “ Sebagaimana Allah SWT.
berfirman :
وَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ
النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا
فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
Artinya :
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya. [Q.S. An-Nisa (4) : 3]
3.
Pernikahan Hukumnya Makruh
Makruh
kawin bagi seorang yang lemah syahwat dan tidak mampu memberi belanja istrinya,
walaupun tidak merugikan istri, karena ia kaya dan tidak mempunyai keinginan
syahwat yang kuat. Juga makruh hukumnya jika karena lemah syahwat itu ia
berhenti dari melakukan sesuatu ibadah atau menuntut sesuatu ilmu.
4.
Pernikahan Hukumnya Mubah
Bagi
laki-laki yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan segera kawin
atau karena alasan-alasan yang mengharamkan untuk kawin, maka hukumnya mubah.
5.
Pernikahan Hukumnya Haram
Bagi seseorang
yang tidak mampu memenuhi nafkah lahir dan batin kepada istrinya serta
nafsunyapun tidak mendesak, haramlah ia kawin. Qurthuby berkata : “Bila seorang
laki-laki sadar tidak mampu membelanjai istrinya atau membayar maharnya atau
memenuhi hak-hak istrinya, maka tidaklah boleh ia kawin, sebelum ia terus
terang menjelaskan keadaannya kepada istrinya atau sampai datang saatnya ia
mampu memenuhi hak-hak istrinya. Allah berfirman :
..... وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا
......
Artinya :
Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan
dengan tanganmu sendiri. [Q.S. Al-Baqarah (2) : 195]
D. Cara-cara Pernikahan
Di dalam Islam, di jelaskan
tentang cara-cara pernikahan yang sah yang sesuai dengan syariat Islam. Oleh
karena itu, sebagai seorang muslim kita tidak di perkenankan melakukan
pernikahan yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah agama Islam karena jika itu
terjadi pernikahan yang awalnya bernilai ibadah bisa berubah menjadi suatu
perzinaan jika pernikahan yang dilakukan diluar syariat Islam. Adapun
larangan-larangan pernikahan menurut hukum islam, syarat dan rukun pernikahan
dalam Islam yang akan di jelaskan di bawah ini.
1.
Larangan Pernikahan Munurut Hukum Islam
Di dalam asas-asas Agama Islam, dirumuskan beberapa larangan perkawinan, dengan siapa dia
boleh melakukan perkawinan dan dengan siapa dia dilarang (tidak boleh menikah).
Larangan
pernikahan karena berlainan agama
Sebagaimana firman Allah :
وَلاَ
تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرُ مِّن
مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلاَ تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى
يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرُ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ
أُوْلاَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللهُ يَدْعُوا إِلَى الْجَنَّةِ
وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ
يَتَذَكَّرُونَ
Artinya
:
Dan janganlah
kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita
budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
hingga mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya. Dan Allah menerangkan
ayat-ayatNya (perintah-perintahNya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran." [QS. Al-Baqarah (2) : 221].
Larangan
Pernikahan Karena Hubungan Darah Yang Terlampau Dekat
Dan sudut Ilmu Kedokteran (kesehatan keluarga), perkawinan antara
keluarga yang berhubungan darah yang terlalu dekat itu akan mengakibatkan
keturunannya kelak kurang sehat dan sering cacat bahkan kadang-kadang
inteligensinya kurang cerdas, (lihatlah Dr. Ahmad ramali Jalan Menuju Kesehatan
Jilid I, halaman 221). Allah berfirman :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ
وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاتُكُمْ وَبَنَاتُ الأخِ وَبَنَاتُ الأخْتِ
وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ
وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ
اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ وَأَنْ
تَجْمَعُوا بَيْنَ الأخْتَيْنِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا
رَحِيمًا
Artinya :
Diharamkan atas
kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang
perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang
perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu,
saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak
perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang
telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah
kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu menikahinya, (dan diharamkan bagimu)
istri-istri anak kandungmu (menantu), dan diharamkan mengumpulkan (dalam
pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa
lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Q.S. An-Nisaa
(4) : 23]
Larangan
Pernikahan Karena Hubungan Sesusuan
Maksudnya ialah bahwa seseorang laki-laki dengan wanita yang tidak
mempunyai hubungan darah, tetapi pernah menyusu (menetek) dengan ibu (wanita)
yang sama dianggap mempunyai hubungan sesusuan, oleh karenanya timbul larangan
menikah antara keduanya karena alasan sesusu (sesusuan). Tentulah akan timbul
persoalan lain yaitu beberapa kalikah menyusu itu atau berapa lama menyusu itu
yang menimbulkan larangan menikah itu. Larangan ini minimal 5 (lima) kali
sampai kenyang setiap kali menyusu itu, dengan tidak dipersoalkan kapan
waktu-waktu menyusu itu, apakah sehari itu menyusu lima kali itu, atau berjarak
dua atau tiga hari atau seminggu. Maka barulah timbul larangan perkawinannya.
Pendapat ini adalah pendapat imam syafi’i dengan para penganutnya. Larangan ini
juga dijelaskan dalam Q.S. An-Nisaa Ayat 23 yang bermaksud semua yang
dipelihara oleh ibu yang sama meskipun tidak sekandung.
Larangan
Pernikahan Karena Hubungan Semenda
Hubungan
semenda artinya ialah setelah hubungan perkawinan yang terdahulu, misalnya
kakak adik perempuan dari istri kamu (laki-laki). Laki-iaki (kamu) telah
menikahi kakaknya yang perempuan atau adiknya yang perempuan maka timbullah
larangan perkawin antara suami dari kakak adik perempuan itu dengan kakaknya
perempuan itu.
Larangan
Perkawinan masih dalam Rangka Hubungan Semenda, tetapi Lebih Bersifat Khusus
Larangan perkawinan masih dalam rangka hubungan semenda, tetapi
lebih bersifat khusus atau istimewa, karena ayat Quran mengenal larangan ini
diwahyukan Tuhan khusus untuk melarang perkawinan yang demikian ini yaitu:
وَلا
تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ
كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلا
Artinya :
Dan
janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu,
kecuali (kejadian) pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu
sangat keji dan dibenci dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). [Q.S.
An-Nisaa (4) : 22].
Larangan
Pernikahan Poliandri
Poliandri adalah seorang wanita yang sudah bersuami menikah lagi
dengan lelaki lain (belum cerai). Larangan pernikahan poliandri di tegaskan
dalam Q.S. An-Nisaa ayat 24 yang berbunyi :
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ
النِّسَاءِ
Artinya :
Dan (diharamkan juga atas kalian untuk menikahi)
perempuan-perempuan yang telah bersuami..........[Q.S.An-Nisaa (4) : 24]
Larangan
Pernikahan Terhadap Wanita yang di Li’ an
Li’an adalah saling
menjauh, yakni suami-istri saling menjauh setelah terjadi li’an
selamanya. Li’an
adalah sumpah suami bahwa istrinya telah berzina (berselingkuh) dengan orang
lain dan anak yang dilahirkan istrinya akibat zina (jika ada) bukanlah anaknya.
Jika seseorang menuduh istrinya berzina tanpa bukti, maka ia telah melakukan qadzaf (قذف) dan
berhak mendapatkan hukum had berupa 80 kali cambukan. Allah Ta’ala berfirman
:
وَالَّذِينَ
يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ
ثَمَانِينَ جَلْدَةً
Artinya :
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat
zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka cambuklah mereka
(yang menuduh itu) delapan puluh kali cambukan. [QS. An Nuur (4) : 4]
Larangan
Menikahi Wanita Pezina maupun Laki-laki Pezina
Tujuan perkawinan sifatnya adalah suci. Ia harus dicegah dari
segala unsur penodaan, pengotoran karena itulah ia menjadi lembaga keagamaan.
Haramlah yang tidak melindungi, mengawal dan mengamankan kesucian perkawinan.
Perkawinan yang didasarkan sekuler saja (menurut apa adanya saja, kebudayaan
saja) tidak akan dapat menjaga atau tidak akan mampu menjaga kesucian itu,
seperti yang dijelaskan dalam Q.S. An-Nuur Ayat 3 yang berbunyi :
الزَّاني لا يَنْكِحُ إِلاَّ
زانِيَةًأَوْ مُشْرِكَةً وَ الزَّانِيَةُ لا يَنْكِحُها إِلاَّزانٍ أَوْ
مُشْرِكٌوَوَحُرِّمَ ذلِكَ عَلى ا لَمُؤْمِنِيْنَ
Artinya :
Orang laki-laki pezina, yang dinikahinya ialah perempuan pezina
pula atau perempuan musyrik. Perempuan pezina jodohnya ialah laki-laki pezina
pula atau laki-laki musyrik , dan diharamkan yang demikian itu atas orang yang
beriman. [Q.S.An-Nuur (24) : 3]
Larangan
Suami Menikahi Mantan Istri yang telah di Talak Tiga
Seorang suami yang telah mentalak tiga mantan istrinya, tidak
diperkenankan menikahinya kembali kecuali jika mantan istri telah dinikahi oleh
seorang laki-laki lain dengan syarat harus di campuri dulu oleh suaminya
kemudian diceraikan, barulah suami pertama boleh menikahinya kembali. Akan
tetapi, dalam hal ini tidak boleh dilakukan secara sengaja, misalnya si suami
berkata kepada orang yang akan menikahi istrinya “Saya izinkan kamu menikahi
mantan istriku, dan kamu boleh mencampurinya kemudian kamu ceraikan dia
untukku”. Tidak boleh ada unsur perencanaan dalam hal ini. Allah SWT. berfirman
dalam Q.S. Al-Baqarah Ayat 230 yang berbunyi :
فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ
مِن بَعْدُ حَتَّى تَنكِحَ زَوْجاً غَيْرَهُ فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ جُنَاحَ
عَلَيْهِمَآ أَن يَتَرَاجَعَآ إِن ظَنَّا أَن يُقِيمَا حُدُودَ اللهِ وَتِلْكَ
حُدُودُ اللهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Artinya :
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.
Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi
keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah,
diterangkanNya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” [Q.S.Al-Baqarah (2) :
230]
Larangan
Menikah Lagi Bagi Seorang Laki-laki yang Sudah Beristri Empat
Prinsip Pernikahan dalam Islam itu monogami, artinya boleh seorang
lelaki menikahi dua sampai emapat perempuan, dengan syarat ia harus bisa
berlaku adil terhadap istri-istrinya baik itu yang bersifat kebutuhan seksual
maupun kebutuhan materi. Jika seorang suami sudah memiliki empat istri maka
baginya larangan untuk menikah lagi bila ia tidak menceraikan sala satunya.
Sebagaimana dijelaskan dalam Hadist yang berbunyi :
عَنْ سَالِمٍ ، عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا ، أَنَّ غَيْلانَ بْنَ سَلَمَةَ الثَّقَفِيَّ أَسْلَمَ
وَعِنْدَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم :
أَمْسِكْ أَرْبَعًا وَفَارِقْ سَائِرَهُنَّ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ ، عَنِ
الزُّهْرِيِّ ، حَدِيثَ غَيْلانَ
Artinya :
Dari Salim, dari ayahnya Radliyallaahu ‘anhu bahwa Ghalian Ibnu
Salamah masuk Islam dan ia memiliki sepuluh orang istri yang juga masuk Islam
bersamanya. Lalu Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menyuruhnya untuk memilih
empat orang istri di antara mereka dan ceraikan selebihnya. Hadits ini didapat
dari Imam Malik dari Zuhri, Hadits Ghailan. (Musnad Imam Syafi’i : 1338)
2.
Syarat dan Rukun Pernikahan Dalam Islam
‘Syarat, yaitu
sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan
(ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk sholat” atau menurut islam
calon pengantin laki-laki/perempuan itu harus beragama islam.
Rukun, yaitu
sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan
(ibadah), dan sesuatu itu bermaksud dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti
membasuh muka untuk wudhu’ dan takbiratul ihram untuk shalat. Atau
adanya calon pengantin laki-laki/perempuan dalam perkawinan.
1.
Syarat-Syarat Pernikahan Dalam Islam
v Mempelai laki-laki (calon
suami), syarat-syaratnya :
a.
Beragama
Islam
b.
Lelaki
yang tertentu
c.
Bukan
mahram dengan bakal istri
d.
Bukan
dalam ihram haji atau umrah
e.
Dengan
kerelaan sendiri
f.
Mengetahui wali yang sah bagi akad nikah
tersebut
g.
Mengetahui bahawa perempuan itu boleh dan
sah dinikahi
h.
Tidak mempunyai empat orang isteri yang sah
dalam satu masa
v Mempelai Wanita (calon istri),
syarat-syaratnya :
a.
Beragama
Islam
b.
Bukan
seorang khunsa (perempuan yang merasa dirinya laki-laki)
c.
Perempuan
yang tertentu
d.
Tidak
dalam masa Iddah
e.
Bukan
dalam ihram haji atau umrah
f.
Dengan
rela hati
g.
Bukan
perempuan mahram dengan bakal suami
h.
Bukan
istri orang atau masih ada suami
v Wali, syarat-syarat wali :
a.
Adil
b.
Beragama
Islam
c.
Baligh
d.
Lelaki
e.
Merdeka
f.
Tidak
fasik, kafir, atau murtad
g.
Bukan
dalam ihram haji atau umrah
h.
Waras
(tidak cacat pikiran dan akal)
i.
Dengan
kerelaan sendiri
j.
Tidak
muflis (ditahan hukum atau harta)
Adapun macam-macam wali dalam
Pernikahan :
1.
Wali Nasab yaitu orang-orang
yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita yang berhak menjadi wali. Yang
termasuk wali nasab yaitu ayah
kandung, kakek (dari garis ayah) dan seterusnya keatas dalam garis laki-laki,
saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki saudara
laki-laki sekandung, anak laki-laki saudara laki-laki seayah, anak laki-laki
dari anak laki-laki saudara laki-laki sekandung, anak laki-laki dari anak
laki-laki saudara laki-laki seayah, saudara laki-laki ayah sekandung (paman),
saudara laki-laki ayah seayah (paman seayah), anak laki-laki paman sekandung,
anak laki-laki paman seayah, saudara laki-laki kakek sekandung, anak laki-laki
saudara laki-laki kakek sekandung, anak laki-laki saudara laki-laki kakek
seayah.
2. Wali Hakim, yaitu orang yang
diangkat oleh pemerintah (Menteri Agama) untuk bertindak sebagai wali dalam
suatu pernikahan yaitu apabila
seorang calon mempelai wanita dalam kondisi tidak mempunyai wali nasab sama
sekali, atau walinya mafqud (hilang tidak diketahui keberadaannya), atau wali
sendiri yang akan menjadi mempelai laki-laki sedang wali yang sederajat dengan
dia tidak ada, atau wali yang berada di tempat jauh sejauh masafaqotul qosri
(sejauh perjalanan yang memperbolehkan shalat qasar yaitu 92,5 kilo meter),
atau wali berada dalam penjara atau tahanan yabg tidak boleh di jumpai, atau
wali adhol yaitu tidak bersedia atau menolak untuk menikahkannya, atau wali
sedang melaksanakan ibadah umrah atau haji.
3. Wali Muhakam yaitu wali yang
diangkat oleh kedua calon suami-istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad
nikah mereka. Kondisi ini terjadi apabila suatu pernikahan yang seharusnya
dilaksanakan oleh wali hakim, padahal disini wali hakimnya tidak ada maka
pernikahannya dilaksanakan oleh wali muhakam.
v Dua orang saksi, :
Adapun syarat saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang
laki-laki, muslim, baligh, berakal, melihat dan mendengar serta mengerti
(paham) akan maksud akad nikah.
Adapun kewajiban adanya saksi tidak lain, hanyalah untuk
kemaslahatan kedua belah pihak dan masyarakat. Misalnya, salah seorang
mengingkari, hal itu dapat dielakkan oleh adanya dua orang saksi. Juga misalnya
apabila terjadi kecurigaan masyarakat, maka dua orang saksi dapatlah menjadi
pembela terhadap adanya akad perkawinan dari sepasang suami istri. Disamping
itu, menyangkut pula keturunan apakah benar yang lahir adalah dari perkawinan
suami istri tersebut. Dan di sinilah saksi itu dapat memberikan kesaksiannya.
v Ada Ijab dan Qabul, :
Pada hakikatnya ijab adalah suatu pernyataan dari perempuan untuk
mengikatkan diri dengan seorang laki-laki untuk dijadikan sebagai suami yang
sah. Sedangkan qabul adalah pernyataan menerima dengan sepenuh hati untuk
menjadikan seorang perempuan tersebut menjadi istri yang sah.
Di dalam ijab dan qabul ini di sebutkan mahar atau mas
kawin. Mahar ini bukan termasuk syarat atau pun rukun pernikahan, akan tetapi
mahar ini termasuk kewajiban suami terhadap istri, kewajiban yang berupa
pemberian. Menurut mazhab Maliki, mahar adalah sebagai sesuatu yang
menjadikan istri halal untuk digauli.
Contoh Lafadz Ijab :
“Daku nikahkan dikau dengan ….. binti …. (sebutkan nama pengantin
perempuan) dengan mas kawin …….”
Contoh Lafadz Qabul :
“Daku terima nikahnya ….. binti ….
(sebutkan nama pengantin perempuan) dengan mas kawin …….”
2.
Rukun Pernikahan dalam Islam
· Ada Calon Suami dan Istri
· Ada Wali Nikah
· Dua orang saksi
· Ada Ijab dan Qabul
E. Hikmah Pernikahan dalam Islam
Anjuran telah banyak disinggung oleh
Allah dalam al-Quran dan Nabi lewat perkataan dan perbuatannya. Hikmah yang
terserak di balik anjuran tersebut bertebaran mewarnai perjalanan hidup
manusia. Secara sederhana, setidaknya ada 5 (lima) hikmah di balik perintah
menikah dalam Islam.
o
Sebagai
wadah birahi manusia secara halal
Allah ciptakan
manusia dengan menyisipkan hawa nafsu dalam dirinya. Ada kalanya nafsu bereaksi
positif dan ada kalanya negatif.
Manusia
yang tidak bisa mengendalikan nafsu birahi dan menempatakannya sesuai wadah
yang telah ditentukan, akan sangat mudah terjebak pada ajang baku syahwat
terlarang. Pintu pernikahan adalah sarana yang tepat nan jitu dalam mewadahi
‘aspirasi’ nulari normal seorang anak keturunan Adam.
o
Meneguhkan
Akhlaq Terpuji
Dengan menikah,
dua anak manusia yang berlawanan jenis tengah berusaha dan selalu berupaya
membentengi serta menjaga harkat dan martabatnya sebagai hamba Allah yang baik.
Akhlak
dalam Islam sangatlah penting. Lenyapnya akhlak dari diri seseorang merupakan
lonceng kebinasaan, bukan saja bagi dirinya bahkan bagi suatu bangsa. Kenyataan
yang ada selama ini menujukkkan gejala tidak baik, ditandai merosotnya moral
sebagian kawula muda dalam pergaulan.
o
Membangun
Rumah Tangga Islami
Slogan
“sakinah, mawaddah, wa rahmah” tidak akan menjadi kenyataan jika tanpa dilalui
proses menikah. Tidak ada kisah menawan dari insan-insan terdahulu maupun
sekarang hingga mereka sukses mendidik putra-putri dan keturunan bila tanpa
menikah yang diteruskan dengan membangun biduk rumah tangga islami.
Layaknya
perahu, perjalanan rumah tangga kadang terombang-ambing ombak di lautan. Ada
aral melintang. Ada kesulitan datang menghadang. Semuanya adalah tantangan dan
riak-riak yang berbanding lurus dengan keteguhan sikap dan komitmen membangun
rumah tangga ala Rasul dan sahabatnya.
o
Memotivasi
Semangat Ibadah
Risalah Islam
tegas memberikan keterangan pada umat manusia, bahwa tidaklah mereka diciptakan
oleh Allah kecuali untuk bersembah sujud, beribadah kepada-Nya.
Dengan menikah,
diharapkan pasangan suami-istri saling mengingatkan kesalahan dan kealpaan.
Dengan menikah satu sama lain memberi nasihat untuk menunaikan hak Allah dan
Rasul-Nya.
o
Melahirkan
Keturunan yang Baik
Hikmah menikah
adalah melahirkan anak-anak yang salih, berkualitas iman dan takwanya, cerdas
secara spiritual, emosional, maupun intelektual.
Dengan menikah,
orangtua bertanggung jawab dalam mendidik anak-anaknya sebagai generasi yang
bertakwa dan beriman kepada Allah. Tanpa pendidikan yang baik tentulah tak akan
mampu melahikan generasi yang baik pula.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pernikahan adalah akad serah terima antara laki-laki dan perempuan
dengan tujuan untuk saling memuaskan diri antara satu dengan yang lain untuk
membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang sakinah serta masyarakat yang
sejahtera.
Pernikahan
bertujuan untuk menjaga diri dari perbuatan zina, memelihara keturunan, dapat
menyalurkan naluri seksual dengan halal dan terpuji, memelihara dan
memperbanyak keturunan secara terhormat, naluri keibuan dan kebapakan akan akan
saling melengkapi dalam kehidupan berumah tangga bersama anak-anaknya, melatih
kemampuan bekerja sama, serta terbentuknya tali kekeluargaan dan silaturahmi
antar keluarga.
Di
dalam agama Islam, hukum pernikahan dilandaskan terhadap keadaan yang di alami
seseorang. Ada yang hukumnya wajib, sunnah, mubah, makruh bahkan haram.
Hikmah
dari pernikahan itu sendiri adalah sebagai wadah birahi manusia secara halal,
meneguhkan akhlaq terpuji, membangun rumah tangga islami, memotivasi semangat
ibadah, serta melahirkan keturunan yang baik dan terhormat.
C.
Saran
Dengan adanya pernikahan diharapkan
dapat membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah, dunia dan
akhirat.
Pernikahan menjadi wadah bagi
pendidikan dan pembentukan manusia baru yang kedepannya diharapkan mempunyai
kehidupan dan masa depan yang lebih baik.
Dengan adanya kepala keluarga yang
memimpin bahtera rumah tangga , kehidupan diharapkan menjadi lebih bermakna,
dan suami-suami dan istri-istri akhir zaman ini memiliki semangat yang tinggi
di jalan Allah SWT. Aamiin.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur
kehadirat Allah Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan hidayah-Nyalah sehingga
penulis bisa menyelesaikan makalah ini dengan sebaik mungkin. Makalah yang berjudul “Pernikahan dalam
Islam” ini kami tulis untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan
Agama Islam.
Dalam penyusunan
makalah ini tentunya kami mendapat banyak donasi dari berbagai pihak. Untuk itu
kami mengucapkan banyak terima kasih atas bantuannya dalam menyelesaikan
makalah ini, serta ucapan terima kasih kami terkhusus kepada Ibu ST. Mutmainnah, S.Ag., M.Ag selaku dosen
mata kuliah yang memberikan kami amanah untuk menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari
bahwa makalah yang kami susun ini masih memiliki banyak kekurangan, oleh karena
itu kami selaku penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun kepada pembaca. Akhirnya, kami berharap makalah ini dapat bermanfaat
bagi kita semua khususnya kepada penulis sendiri.
Makassar,
15 Oktober 2015
Penulis
DAFTAR PUSTAKA
Dandelion,
Momoy. 2010. Konsep Pernikahan dalam Pandangan Islam.
Suparta.
Zainuddin, Djejen. 2005. Fiqih. Semarang : PT. Karya Toha Putra.
Hadzan, Ibnul.
2007. Konsep Pernikahan dalam Islam.
Kumpulan Makalah.
2009. Konsep Islam Tentang Pernikahan.
(online), (http://kumpulan-makalah-dlords.blogspot.com/).
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR...........................................................................................................
DAFTAR
ISI..........................................................................................................................
BAB I :
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang....................................................................................................
B.
Rumusan
Masalah...............................................................................................
BAB II :
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pernikahan........................................................................................
B.
Tujuan
Pernikahan..............................................................................................
C.
Hukum
Pernikahan.............................................................................................
D.
Cara-Cara
Pernikahan.........................................................................................
E.
Hikmah
Pernikahan............................................................................................
BAB III :
PENUTUP
A.
Kesimpulan........................................................................................................
B.
Saran..................................................................................................................
Daftar
Pustaka.....................................................................................................................
Tugas Kelompok
PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
(PERNIKAHAN
DALAM ISLAM)
Oleh :
Kelompok 4
Nama : Asridawati 1552132007
A.
Iin
Safitri 15521320
Hasrifani 15521320
Kelas : Business English / A
UNIVERSITAS
NEGERI MAKASSAR
TAHUN
2015